secarik info tentang kebidanan mudah-mudahan bermanfaat ^_^

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Thumbnail Recent Post

Recent Comments

Posted by Hanifatur Rosyidah - - 0 komentar

oleh Hanifatur Rosyidah, (Beasiswa DIKTI)
– Master of Public Health, VU University of Amsterdam (Royal Tropical Institute)
– Indonesian Directorate General of Higher Education (DIKTI) Scholarship
Penerima beasiswa perguruan tinggi di luar negeri tidak harus bermodalkan segudang prestasi atau berasal dari sekolah negeri.
Dengan kata lain, tidak ada kata terlambat bagi siapapun di dunia ini untuk bermimpi kuliah di luar negeri sekaligus mewujudkannya.
Kemudian, kenapa harus luar negeri? Tentu salah satunya adalah bisa keliling dunia atau setidaknya ke terbang ke luar negeri itu sebagai hal yang sesuatu banget.
Alasan lainnya, kita bisa berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai negara sekaligus menikmati empat musim dengan berbagai keunikan di dalamnya.
Merasakan atmosfer kuliah di negeri orang adalah impian saya sejak di bangku kuliah bahkan juga harapan orang tua saya.
Nah, untuk mewujudkannya tentu membutuhkan semangat kerja keras dan pantang menyerah. Terutama bagi yang tidak punya cukup dana, kita perlu sedikit ”menguras keringat” untuk masuk ke zona pemburu beasiswa.
Tepat pada 2010 atau setelah lulus studi Diploma 4 Kebidanan sekolah kesehatan swasta di kota Semarang, saya memulai petualangan berburu beasiwa.
Perburuan itu dimulai dengan hunting informasi universitas yang membuka program master kebidanan—bidang studi yang linier dengan pendidikan saya sebelumnya.
Walhasil, dengan googling dan bertanya kepada para senior, saya pilih Australia sebagai target awal.
Melalui laman http://cricos.deewr.gov.au/ perburuan beasiswa memasuki babak baru. Saya menemukan beberapa kampus yang mempunyai program kebidanan di Australia. Wah semangat baru bagi saya melihat secercah harapan kuliah di luar negeri seperti baru saja terbuka lebar.
Selanjutnya, pencarian itu semakin serius dengan mencari info yang lebih detil. Keluar masuk web universitas asing dan melihat kurikulum beserta persyaratannya.
Kendala bahasa
Ternyata, mungkin kisah saya yang sekarang studi di Belanda tidak akan terjadi jika saya menyerah saat mengetahui ada kendala.
Kendala utama yang muncul saat itu ialah bahasa dan kualifikasi pendidikan. Maklum, kemampuan Bahasa Inggris terbatas dan pendidikan terakhir saya adalah D-4, bukan Sarjana (S-1).
Tetapi waktu itu, saya pikir tidak ada salahnya untuk mencoba. Segera saya mendaftar di tiga universitas Australia yaitu RMIT, Wollonggong dan Flinders.
Tiga minggu kemudian, dari ketiga universitas tersebut hanya satu—RMIT University—yang memberikan Letter of Acceptance (LoA).
LoA adalah surat yang menyatakan bahwa saya diterima di universitas tersebut.
Tetapi LoA itu sifatnya masih conditional atau dapat berubah sewaktu-waktu layaknya valuta asing. Dengan kata lain, saya benar-benar diterima jika memenuhi persyaratan skor IELTS overall minimal 6.5 dan tentu saja kepastian sumber dana studi di sana. Inilah tantangan pertama yang harus saya taklukan.
Saya mulai mengejar skor IELTS dengan berbagai cara. Mulai dari membaca buku grammar, menonton film dan mencoba cari tempat kursus representatif.
Kemudian saya membidik kampung Bahasa Inggris Pare, Kediri, Jawa Timur demi pendalaman salah satu bahasa resmi PBB tersebut.
Sebelum bertandang ke Pare, saya mencoba tes TOEFL PBT–ITP di Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang, Jawa Tengah.
Hasilnya memang kurang fantastis karena skornya hanya 400 lebih sedikit.
Bulan Agustus 2011, untuk pertama kalinya saya mencoba mendaftar beasiswa, yaitu Australian Development Scholarships (ADS).
Untuk beasiswa ini, tidak dibutuhkan LoA lantaran prosedurnya kita mendapatkan beasiswanya dulu baru bisa daftar ke universitas di Negeri Kangguru tersebut.
Akhir Oktober 2011, bersiap-siaplah saya untuk hijrah ke perkampungan Inggris Pare.
Alhamdulillah saat itu jadwal mengajar di tempat saya bekerja sudah terpenuhi dan ijin dari atasan sudah di tangan.
Dengan waktu yang cukup singkat hanya 1 bulan, saya ambil kursus IELTS, speaking, pronounciation dangrammar tiap harinya.
Seiring waktu berjalan, sembari belajar Bahasa Inggris dan bermodal LoA conditional dari RMIT saya tetap mencoba untuk mendaftar beasiswa DIKTI.
Pertengahan November, saya kembali ke kampus untuk menunaikan kewajiban bekerja dan sambil harap-harap cemas menanti pengumuman dua beasiswa.
Di akhir tahun 2011 datanglah dua kabar dari DIKTI.
Kabar pertama yaitu pengumuman beasiswa yang menyatakan saya belum lolos tes seleksi dan yang kedua adalah kabar program IELTS preparation selama 6 bulan di beberapa universitas dan lembaga Bahasa Inggris, dengan syarat sudah mempunyai skor IELTS 5,0 overall atau lolos seleksi.
Berhubung saya belum pernah tes IELTS, tidak ada salahnya mencoba tes seleksi ini dengan bekal kursus IELTS satu bulan di Pare, mumpung gratis juga.
Bulan Januari 2012, pengumuman ADS pun keluar dengan hasil saya belum lolos (lagi).
Di awal tahun itu, saya tes seleksi program IELTS-DIKTI diselenggarakan di Pusat Bahasa Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Februari 2012, alhamdulillah pengumuman hasil tes sudah keluar dan saya diterima untuk mengikuti kursus IELTS di Lembaga Bahasa Internasional (LBI) Universitas Indonesia, Selemba, Jakarta mulai akhir Februari 2012 sampai dengan Agustus 2012.
Selama mengikuti kursus tersebut, upaya pencarian beasiswa tetap berlangsung, mulai dari beasiswa dari New Zaeland-ASEAN Scholars Awards pada bulan April 2012. Dan ADS untuk kedua kalinya pada akhir kursus (Agustus 2012).
Setelah kursus IELTS dari DIKTI, saya kembali lagi ke kampus untuk mengajar. Di akhir tahun 2012, hasil seleksi dari beasiswa New Zaeland keluar dan hasilnya belum rejeki lagi.
Di awal tahun 2013 hasil seleksi dari ADS diumumkan dan hasilnya masih harus berjuang.
Sempat Putus Asa
Rasa putus asa muncul, sudah daftar empat beasiswa dan hasilnya belum lolos semua.
Namun demikian, alhamdulillah support dari keluarga dan teman-teman terus mengalir yang membuat saya tetap semangat. Rutinitas saat itu adalah bekerja dan mengasah kemampuan berbahasa Inggris.
Pada Februari 2013, dengan bermodal skor IELTS 6 saya mencoba untuk mendaftar di beberapa universitas di Eropa dan Asia. Banting setir setelah gagal di Australia dan Selandia Baru.
Selain itu juga karena muncul isu yang menyatakan bahwa beasiswa DIKTI meminimalisir jumlah karyasiswa untuk belajar di Aussie, karena mahal.
Beberapa universitas di United Kingdom-pun saya jelajahi, mulai dari Nottingham, Hertfordshire, Dundee, Bournemouth, The University of Hull dan King’s College London.
Hasil dari penjelajahan tersebut adalah belum lolos semua, ada yang karena persyaratan bahasa atau English requirement. Ada juga yang karena status akreditasi sekolah pendidikan terakhir.
Perjuangan masih berlanjut, pada awal tahun 2013 saya menemukan kicauan dari akun twitter@BeasiswaGratis tentang beasiswa Netherlands Fellowship Programmes (NFP) di Belanda.
Sebelumnya tidak ada ketertarikan sama sekali untuk studi di negara ini, karena terbayang-bayang sebuah catatan sejarah dan karena saya belum pernah menemukan master program kebidanan di sini.
Tetapi, setelah membaca berbagai informasi di http://www.nesoindonesia.or.id/ dan menonton video aktifitas mahasiswa Indonesia di sana, ternyata banyak sekali pelajar Indonesia yang kuliah disana dan tersedia berbagaiexcellent universities di Belanda.
Dengan bantuan dari http://www.studyfinder.nl/ saya menemukan master program di bidang Public Health yang merupakan kerjasama antara VU University Amsterdam dan Royal Tropical Institute.
Meskipun ini bukan master di bidang kebidanan, tetapi modul yang ditawarkan sangat menarik dan sesuai kebutuhan saya.
Selain itu, course ini mempunyai keterkaitan yang kuat dengan kebidanan, terutama modul Sexual and Reproductive Health and Right.
Pada awal Maret 2013 saya bulatkan tekad untuk mendaftar program ini, namun karena tenggat waktu NFP sudah usai, maka saya berencana untuk mendaftar beasiswa DIKTI sebagai sumber pendanaan.
Sambil menunggu kabar dari Belanda, saya mencoba mendaftar beasiswa AMINEF-FULBRIGHT untuk study di Amerika Serikat.
Alhamdulillah,tepat 10 April 2013 untuk pertama kalinya saya mendapatkan LoA unconditional dari Negeri Orange. Maka bergegaslah saya mendaftar beasiswa DIKTI secara online karena persyaratan sudah lengkap.
Tetapi beberapa minggu kemudian kendala mulai muncul, pihak kampus tempat saya bekerja menyarankan untuk mengambil master di bidang kebidanan.
Oleh karena itu, saya mencoba opsi lain untuk mendaftar International Nurse-Midwifery Master of Science Program di National Taipei University of Nursing and Health Sciences (NTUNHS) Taiwan.
Pada awal Mei 2013, pengumuman panggilan interview dari DIKTI menghampiri. Tiga hari kemudian LoA dari Taiwan sudah di tangan.
Hingga akhirnya, 11 Mei 2013 menjadi hari bersejarah bagi saya.
Ini adalah untuk pertama kalinya saya ikut dalam seleksi interview beasiswa.
Kedua LoA tersebut saya tunjukkan pada interviewer. Satu bulan kemudian pengumuman dari DIKTI menghampiri dengan kabar gembira.
Alhamdulillah… Akhirnya saya mendapatkan beasiswa ini.
Persiapan berkas keberangkatanpun segera dilengkapi.
Pada 9 Juli 2013, tak disangka-sangka, AMINEF pun memberikan undangan untuk interview. Masya Allah! Ketika kita masih bersyukur di saat kegagalan datang berkali-berkali, Allah menggantinya dengan kenikmatan yang berlipat ganda.
Saat itu saya tidak ambil pusing, karena pengumuman DIKTI lebih dulu datang, jadi tetap luruskan niat ke Belanda.
Belanda! Aku Datang
Pada 11 September 2013, hari bersejarah kembali menghapiri saya. Untuk pertama kalinya, kaki saya mendarat di sebuah kota yg jaraknya ribuan kilometer dari tanah air dan membuka lembaran baru sebagai master studentdi Amsterdam. I felt that I was so cool… 
Tak pernah kusangka pada hari itu bisa touchdown di Negeri Kincir Angin.
Sebelum menutup kisah ini, perkenalkan saya Hani, saya lahir di kota kecil pesisir Laut Jawa (Rembang) tahun 1988.
Ibarat laskar pelangi, meskipun tidak mirip sekali, SD tempat saya belajar adalah di sebuah koridor masjid yang sangat kecil dan terbuat dari kayu yang sudah rapuh.
Pendidikan SMP dan SMA saya di salah satu Pondok Pesantren di Jogja, sedangkan di jenjang perguruan tinggi, saya belajar di Universitas swasta di kota Semarang.
Dari biografi mini ini, dengan berbekal pendidikan di sekolah yang sangat sederhana, serta belajar pondok pesantren dan kuliah di kampus swasta, tidak membatasi kita bisa studi di luar negeri.
Salam semangat!

NB: tulisan ini juga dimuat di webnya PPI Belanda – Laskar Beasiswa

Leave a Reply